BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Takhrij Hadis
1. Menurut Bahasa
Takhrij menurut lughat berasal dari kata خرج yang berarti tampak atau jelas. Dan secara arti bahasa ialah: إجتماع امرين متضادين شيء واحد.
Namun secara mutlak, para ahli bahasa memberikan arti 'takhrij dan yang populer diantaranya:
a. الإستنباط : mengeluarkan. Sebagaimana kata الإستخراج dan الإختراج
b. التدريب : melatih, menelitih, atau membiasakan. Sebagaimana خريج yang berarti sesuatu yang dikeluarkan.
c. التوجيه : menerangkan.
Pengertian takhrij adalah perkataan muhadditsin tentang suatu hadis:أخرجه البخارى Artinya al Bukhari telah mengeluarkannya. Maksudnya, menjelaskan kepada orang laintentang tempat keluarnya. Demikian juga dengan menyebutkan para perawi dalam sanad sebagai jalan keluarnya hadis itu.
Demikian juga dalam perkataan: البخارى خرّجه yang berarti أخرجه artinya mengeluarkannya atau menyebutkan tempat keluarnya. Kata-kata inilah yang merupakan dasar pembentukan (isytiqaq) para ahli hadis terhadap kata التخريج yang berarti menjelaskan tempat keluarnya hadis dengan menyebutkan para perawi dalam hadis.
2. Menurut Ahli Hadis
Takhrij menurut istilah ahli hadis, mempunyai banyak pengertian:
a. Muradif (sinonim) kata:الإخراج , yang berarti menjelaskan hadis pada orang lain dengan menyebutkan mukhrijnya, yaitu para perawi dalam sanad hadis, di mana suatu hadis keluar dengan jalan metode periwayatan yang mereka tempuh.
b. Mengeluarkan dan meriwayatkan hadis dari beberapa kitab. Menurut as Syakhawi, takhrij adalah periwayatan seorang ahli hadis terhadap suatu hadis dari beberapa juz, guru, kitab, dll. Kemudian, hadis tersebut disusun gurunya atau teman-temannya, dan sebagainya, dan dibicarakan kemudian disandarkan kepada pengarang atau penyusun kitab itu.[2]
c. Ad Dilalah, menunjukkan kitab-kitab sumber hadis, dan menisbatkannya dengan cara menyebutkan para rawinya, yaitu para pengarang kitab-kitab sumber hadis tersebut.
3. Menurut Istilah
Takhrij menurut istilah ialah:
التخريج هو الدلالة على موضع الحديث في مصادره الأصلية التي أخرجته سنده ببيان مرتبته عند الحاجة.[3]
Menunjukkan tempat hadis pada sumber aslinya, di mana hadis tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan.
Penjelasan definisi:
a. Menunjukkan tempat hadis, berarti menyebutkan kitab-kitab tempat hadis tersebut.
b. Sumber-sumber asli hadis, ialah:
1) Kitab-kitab hadis yang dihimpun para pengarang dengan jalan yang diterima dari guru-gurunya dan lengkap dengan sanad-sanadnya sampai pada Nabi Muhammad saw.seperti kitab hadis enam (muwatta’ Imam Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak al Hakim, Musannaf Abdur Razaq, dll.)
2) Kitab-kitab hadis pengikut (tabi’) dari kitab-kitab pokok di atas.
3) Kitab selain hadis, seperti kitab tafsir, fikih, dan sejarah yang disertai hadis. Dengan syarat, penulisnya meriwayatkan lengkap dengan sanadnya sendiri.
c. Menjelaskan derajat atau nilai suatu hadis ketika diperlukan.
B. Tujuan Dan Manfaat Takhrij Hadis
Takhrij hadis bertujuan untuk mengetahui sumber asal hadis yang ditakhrij dan untuk mengetahui ditolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memerhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal usul maupun kualitasnya.
Adapun manfaat dari takhrij hadis ini, antara lain:
1. Mengetahui jalur periwayatan suatu hadis yang menjadi topic kajian.
2. Mengetahui sumber-sumber hadits, siapa yang mengeluarkan hadits tersebut dan kitab hadits yang pokok yang memuat hadits tersebut.
3. Mengetahui keadaan sanad dengan banyak jalan yang meriwayatkan, dan akan tersingkap dengan jelas mana yang terputus dan mana tertambahi ( i'dhol ).
4. Mengangkat hadits karena banyaknya jalur periwayatan. Hadits dhoif ternyata ditemukan banyak 'syawahid' sehingga derajatnya naik menjadi hasan li ghoirih.
5. Menemukan status hadis shahih li dzatihi atau shahih li ghoirihi, hasan li dzatihi atau hasan li ghoirihi. Begitu juga, akan dapat mengetahui mutawatir, masyhur, aziz, dan gharib-nya.[4]
6. Mengetahui perawi yang dilemahkan oleh ahli jarh dan ta'dil pada jalur periwayatan hadits tersebut.
7. Menghilangkan ke'su-dzud'an suatu hadits.
8. Menyingkap keraguan dan kesalahan dari perowi.
9. Mengetahui lafal periwayatan karena hadits terkadang diriwayatkan dengan maknanya saja.
10. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah makbul atau tidak.
11. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari Rasululah saw.yang harus diikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis, baik dari segi sanad maupun matan.
C. Sejarah Takhrij Hadis
Penguasaan para ulama terdahulu terhadap sumber-sumber As-Sunnah begitu luas, sehingga mereka tidak merasa sulit jika disebutkan suatu hadits untuk mengetahuinya dalam kitab-kitab As-Sunnah. Ketika semangat belajar sudah melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadits yang dijadikan sebagai rujukan para ulama dalam ilmu-ilmu syar’i. Maka sebagian dari ulama bangkit dan memperlihatkan hadits-hadits yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab As-Sunnah yang asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumnya dari yang shahih atas yang dla’if. Lalu muncullah apa yang dinamakan dengan “Kutub At-Takhrij” (kitab-kitab takhrij).[5]
Ulama yang pertama kali melakukan takhrij hadis adalah Al Khatib Al Baghdadi (w.463 H) pada kitabnya yaitu Tarikh al Baghdadi yang berisi 12 jilid. kemudian dilakukan pula oleh Muhammad bin Musa al Hazimi (w. 584 H). dan diikuti oleh ulama-ulama lainnya.[6] Pada perkembangan selanjutnya, cukup banyak bermunculan kitab yang berupaya men-takhrij kitab berbagai ilmu agama, hingga kitab takhrij menjadi populer dan banyak sekali jumlahnya.
Takhrij hadis mulai berkembang pada periode enam sampai periode tujuh (abad IV/656 H-sekarang). Perkembangan pada abad ke II dan III digelari Mutaqaddimin dengan mengumpulkan hadis yang berpegang pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri dengan menemui para pengafalnya yang tersebardi setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lain.
Perkembangan yang terjadi pada abad ke IV para ulama yang digelari sebagai ulama Mutaakhirin kebanyakan hadis yang telah mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab ulama Mutaqaddimin. Setelah itu pada abad ke VI sampai pada abad VII (setelah wafatnya Khalifah Abbasiyah ke XVII Al Mu’tasim, w.656 H) terjadilah masa pencerahan yang disebut dengan masa ‘Ahdu As Sarhi wa Al Jami’ wa at Takhrij wa al Bahtsi yakni masa pensyarahan, penghimpunan, pen-takhrijan, dan pembahasan.
Kemudian datanglah masa yang jauh berbeda dengan sebelumnya, yaitu jika sesorang yang menuntut ilmu menjumpai suatu hadis dalam kitab yang hanya menyebutkan petunjuk singkat terhadap sumber-sumber aslinya, maka ia tidak mengetahui cara memperoleh teks hadis tersebut pada sumber aslinya. Hal itu terjadi karena terbatasnya suatu pengetahuan tentang cara penyusunan kitab yang menjadi sumber asli tersebut dan pembagian babnya.
Berdasarkan keadaan tersebut, mendorong para ulama untuk segera menulis kitab tentang metode menakhrijkan hadis, sistematika kitab , tertibnya, pembagian bab, dan cara penggunaannya agar memudahkan bagi seseorang untuk mendapatkan teks hadis dalam waktu yang singkat. Mempelajari takhrij sudah menjadi kebutuhan yang mendesak, terutama bagi para da’i pengemban amanah dakwah. Agar jangan sampai seseorang menyampaikan sebuah hadis, sementara hadis tersebut dloif dan ia tidak mengetahuinya.
Berikut adalah beberapa kitab-kitab takhrij yang populer yang telah ditulis oleh para ulama hadis, di antara kitab-kitab tersebut adalah:
1. Kitab takhriju Ahadisi Muhadzdzabi, karya Abu Ishaq as Syirazi, tulisan Muhammad bin Musa al Hazimi (w.584 H).
2. Kitab Takhriju Ahadisil Mukhtasaril Kabir, karya Ibnul hajib, tulisan Ahmad bin Abdul Hadi al Maqdisi (w.774 H).
3. Kitab Nasbur rayah Li Ahadisil Hidayah, karya al Margigani, tulisan Abdullah bin Yusuf az Zaila’i (w.762H).
4. Kitab Takhriju Ahadisil Kassyaf, karya al Jahiz, tulisan az Zaila’i juga.
5. Kitab Al Badrul Munir Fi Takhrijil Ahadisi wa Asaril Waqi’ati Fis Syarhil Kabiri, karya Ar Rafi’i, tulisan Umar bin Ali bin al Mulqin (w.804 H).
6. Kitab al Mughni ‘An Hamlil Asfar Fil Asfar Fi Takhriji Ma Fil Ihya’ Minal Akhbar, tulisan Abdur Rahim bin al Husain al ‘Iraqi (w.806 H).
7. Kitab Takhrij at Turmudzi yang ditandainya dalam setiap tulisan al Hafiz al ‘Iraqi.
8. Kitab al Takhlisul Kabir Fi Takhriji Ahadisi Syarhil Wajizil Kabir, Kitab ar Rafi’i, Kitab ad Dirayah Fi Takhriji Ahadisil Hidayah, tulisan Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalani (w.852 H).
9. Kitab Tuhfatur Rawi Fi Takhriji Ahadisisl Baidawi, tulisan Abdur Rauf al Munawi (w.1031 H).
Tidak ada batasan untuk sesorang yang mencari ilmu khususnya dalam melakukan takhrij hadis ini. Secara umum, mengenai syarat-syarat bagi seorang pentakhrij, tidak ada syarat yang dibatasi buat kita dalam artian siapa saja bisa menjadi pentakhrij termasuk kita sebagai generasi penerus perkembangan pertumbuhan agama Islam. Namun secara mutlak seorang pentakhrij harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Mampu berbahasa atau mengerti bahasa Arab.
b. Mampu membaca kitab kuning atau yang berbahasa Arab.
c. Memahami kode-kode yang tertera dalam kitab-kitab takhrij.
d. Memeahami musthalah hadisnya, dll.
D. Kitab-kitab Yang Diperlukan
Secara Umum, kitab-kitab hadis terbagi menjadi dua, pertama Kutub al Ahadits mu’atamadah (kitab-kitab induk primer/induk) dan kedua Kutub al Ahadits aasl Ghoir Mu’tamadah (kitab-kitab sekunder).
1. كتب الأحاديث المعتمدةyaitu kitab-kitab hadis yang ditulis oleh para Imam-Imam hadis yang memiliki riwayat secara langsung dari Rasulullah saw melalui jalur sanadnya sendiri, secara keseluruhan dari awal hingga akhir. Seperti kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Shahih Tirmidzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, dsb.
2. كتب الأحاديث الغير المعتمدةyaitu kitab-kitab hadis yang ditulis oleh Imam-Imam Hadis namun tidak dengan jalur sanadnya sendiri, melainkan berupa gabungan hadis-hadis melalui jalur sanad yang lain, yang diambil dari kitab-kitab hadis induk. Kitab-kitabnya seperti kitab Riyadlus Shalihin, Bulughul Maram, Nailul Authar, dsb.
Dalam melakukan Takhrij Hadis, kita memerlukan kitab-kitab yang berkaitan dengan Takhrij hadis ini. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain yaitu:
1. Hidayatul bari ila Tartibi Ahadisil Bukhari
2. Mu’jam al Fadzi wala Siyyama al Ghariibu Minha atau Fuhris Litartibi Ahadisi Shahihi Muslim
3. Miftahus Sahihain
4. Al Bughyatu fi Tartibi Ahadisi al Hilyah
5. Al Jami’us Shaghir
6. Al Mu’jam al Mufahras li Alfadzi Hadis Nabawi[7]
E. Metode Takhrij Hadis
Setelah mengenali beberapa kitab hadis, maka kita perlu memahami dan mempelajari cara atupun metode untuk mentakhrij hadis. Hal ini sangat penting bagi para aktifis dakwah untuk mencari tahu apakah hadis itu memiliki dasar atau tidak. Karena takhrij merupakan kunci dari kekayaan as sunnah yang memungkinkan kita untuk mengetahui apakah sebuah ungkapan tersebut diucapkanoleh rasulullah atau bukan. Kemudian, jika ungkapan tersebut merupakan hadis, kita dapat mengetahui derajat hadis tersebut dan mengetahui “jalan-jalan sanad” suatu hadis.
DalamTakhrij, terdapat beberapa macam metode yang diringkas dengan mengambil pokok-pokoknya. Secara umum, ada lima metode yang digunakan :
1. Dengan cara mengetahui lafal pertama dari matan hadis (matla’ al hadis).
2. Dengan cara mengetahui lafal-lafal yang terdapat dalam matan hadis.
3. Dengan cara mengetahui sahabat yang meriwayatkan, jika terdapat.
4. Dengan cara mengetahui tema (maudlu’) atau pokok bahasan hadisnya.
5. Dengan cara meneliti sanad dan matan hadis tersebut.[8]
1. Dengan Cara Mengetahui Lafal Pertama Dari Matan Hadis (Matla’al Hadis).
Metode takhrij dengan mmengetahui lafal pertama dari matan hadis adalah suatu metode yang berdasarkan pada lafal pertama pada matan hadis, sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah dan alfabeth sehingga metode ini mempermudah dalam pencarian suatu hadis yang dimaksud.
Takhrij hadis dengan menggunakan metode ini, memiliki keistemewaan yaitu sangat mudah dan cepat untuk menemukan hadis yang akan kita takhrij. Karena sekedar mengetahui awal hadis, insya Allah kita akan menemukan hadis yang kita takhrij. Meskipun demikian, kelemahan metode ini adalah jika seseorang keliru memahami awal hadis yang dimaksud, maka ia tidak akan mendapatkan hadis yang ditakhrijnya.
Cara Mentakhrij Hadis Dengan Metode Mengetahui Awal Kata Dalam Hadis
Langkah-langkah praktis yang harus kita lakukan dalam mentakhrij hadis dengan menggunakan metode ini adalah:
a. Memastikan awal kata hadis yang akan kita takhrij.
b. Jika awal kata dalam hadis yang akan kita takhrij merupakan kata yang sangat umum, maka kita harus memperhatikan kata-kata berikutnya.
c. Setelah itu, kita merujuk pada kitab-kitab takhrij yang membantu untuk mentakhrij hadis sesuai dengan metode ini adalah:
1) الجامع الصغير من حديث البشير النذير yang disusun oleh Jalaluddin Abu Fadlil Abd Rahman Ibn Abi Bakar Muhammad as Suyuthi atau Imam As Suyuthi(w.911 H).
2) الفتح الكبير ف ضمّ االزيادة الى جامع الصغير yang disusun oleh Jalaluddin Abu Fadlil Abd Rahman Ibn Abi Bakar Muhammad as Suyuthi atau Imam As Suyuthi (w.911 H).
3) جمع الجوامع (الجامع الكبير) yang disusun oleh Jalaluddin Abu Fadlil Abd Rahman Ibn Abi Bakar Muhammad as Suyuthi atau Imam As Suyuthi (w.911 H).
4) الجامع الأزهر من حديث النبي الأنوار yang disusun oleh Imam Al Munawi (w. 103331 H).
5) كنوز الحقائق في حديث خير الخلائق yang disusun oleh Imam Al Munawi (w. 103331 H).
6) المقاصدالحسنة في ببيان كثير من الأحاديث المشتههرة على الألسنة yang disusun oleh Muhammad bin Abdur Rahman As syakhawi atau Imam Al Syakhawi (w. 902 H)
7) كشف الخفا ومزيل الإلتباس عمّا اشتهر من الأحاديث على الألسنة الناس yang disusun oleh Ismail bin Muhammad Al Ajluni atau Imam Al Ajluni (w.1162 H).
8) تمييز الطيب من الأحاديث فيما يدور على الألسنة االناس من الحديث yang disusun oleh Ibnu Dabi' As Syaibani (w.944 H).
d. Kemudian kita pilih salah satu kitab yang ada, untuk memastikan bahwa hadis yang akan kita takhrij itu memang hadis atau bukan.
e. Lalu kita cari hadis itu dalam kitab yang kita pilih. Kitab-kitab di atas disusun berdasarkan abjad arab. Dimulai dari hadis yang berawalan alif, kemudian ba’, ta’, dan seterusnya. Sehingga tinggal mengurutkan hadis kita sesuai dengan huruf awal pada kata dalam hadis yang kita takhrij. Sebagai contoh, kita ingin mentakhrij hadis:
الطهور شطر الإيمان, والحد لله مملأ الميزان, وسبحان الله والحمد لله مملآن ما بين السماء والأرض, والصلاة نور, والصدقة برهان, والصبر ضياء, القرأن حجة لك او عليك....
Untuk mentakhrij hadis ini, kita harus mencarinya pada huruf “tha’” yang diawali dengan alif lam. (dalam bab tha’, terdapat bagian khususyang diawali dengan alif lam, demikian juga dengan huruf-huruf lainnya). Misalkan kita mencari dalam kitab Al Jami’ As Shaghir. Kita mencari bab tha’ yang diawali alif lam, kemudian kita urutkan tha’ yang bertemu ha’ dan wawu serta ra’. Dan insya Allah akan mendapatkannya. Setelah mendapatkan hadis ini, Imam Assuyuthi memberikan keterangan di akhir hadis tadi dengan ungkapan ( حم م ت ع عن أبى مالك الأشعرى صح)
Kalimat-kalimat ini merupakan rumus yang beliau cantumkan pada masing-masing hadis. Dan dalam muqaddimah kitab ini dijelaskan rumus-rumus (yang bertujuan untuk menyingkat) dengan penjelasannya. Dan akan kita dapati sebagai berikut:
حم Artinya bahwa hadis ini driwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal
م Artinya bahwa hadis ini driwayatkan oleh Imam Muslim
ت Artinya bahwa hadis ini driwayatkan oleh Imam Turmudzi
عن أبى مالك الأشعرى Artinya bahwa hadis ini driwayatkan oleh sahabat Rasulullah yang bernama Abu Malik Al Asy’ari
صح Artinya bahwa hadis yang kita takhrij merupakan hadis shahih.
f. Setelah itu, kita dituntut untuk memastikan keberadaan hadis kita dalam kitab-kitab induk hadis yang dikemukakan oleh Assuyuthi tadi. Jika Assuyuthi menyebutkan tiga kitab hadis, maka minimal kita harus meruju’ tiga kitab yang disebutkan Imama Assuyuthi tersebut, yaitu Musnad Imam Ahmad, Shahih Muslim, dan Sunan Atturmudzi.
g. Kemudian setelah itu, kita kemukakan bahwa hadis kita terdapat dalam Musnad Imam Ahmad bin Hambal dengan menyebutkan juz, halaman, dan riwayatnya. Begitu juga dengan Imam Muslim dan Imam Tirmidzi yang menyebutkan bab, juz, no hadis, halaman hadis dengan sanad dan matannya, serta menyebutkan riwayatnya.
h. Setelah itu, kita mencari tahu komentar ulama’ mengenai hadis yang kita takhrij. Dan jika kita tidak mendapatkannya, maka kita harus meruju’ pada kitab-kitab syarah hadis. Dengan demikian kita telah mentakhrij hadis secara lengkap.
2. Dengan Cara Mengetahui Lafal-lafal Yang Terdapat Dalam Matan Hadis.
Metode kedua ini merupakan suatu metode yang berlandaskan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, baik berupa kata benda maupun kata kerja.[9]
Metode ini relative mudah dan paling banyak digunakan karena metode ini tidak mengkhususkan harus mengetahui permulaan hadis yang ingin kita takhrij. Keistemewaan metode ini adalah dapat mentakhrijkan suatu hadis dari mana saja dan lafal-lafal yang teringat oleh kita. Disamping itu, metode ini memberikan keterangan yang lebih lengkap mengenai hadis yang akan ditakhrij. Namun meskipun demikian, kelemahan metode ini yaitu tidak disebutkannya sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut dan derajat hadis yang bersangkutan.
Cara Mentakhrij Dengan Melihat Lafal-lafal Hadis
a. Mencari kata-kata tertentu dalam hadis yang akan kita takhrij (berupa isim atau fi’il)
b. Mencari kata-kata yang paling asing (jarang digunakan) karena semakin asing kata tersebut, maka akan mempermudah proses pentakhrijannya.
c. Menemukan kata dasar dari kata yang akan dipergunakan, terutama jika kata tersebut bukan kata dasar. Demikian juga dengan isimnya, perlu kita temukan bentuk mufrad dan asal katanya. Misalnya kita ingin mentakhrij hadis:
إنما الأعمال بالنيات, وإنما لكل امرء ما نوى
Ketika kita ingin mentakhrijkan النيات maka kita terlebih dahulu harus menemukan asal katanya, yaitu النية. Dan selanjutnya kita dituntut untuk mengetahui asal kata dasarnya نوى.
d. Setelah mengetahui kata dasarnya, maka kita merujuk ke kitab takhrij yang menggunakan kitab ini. Kitab yang masyhur adalah kitab:
المعجم المفهرس لألفاظ الحديث النبوىyang ditulis A.J Wensinck, J.P. Mensing, W.P. De ET, J.B. Van Loon dan kawan-kawannya. Yang diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Abd Al Baqi. Terdapat beberapa hal penting yang perluu diperhatikan mengenai hal ini:
1) Buku ini disusun berdasarkan lafal-lafalnya dengan menggunakan kata dasar berbentuk fi’il (af’al mujarodah) sebagai patokannya. Kata-kata ini pun disusun berdasarkan abjad.
2) Adapun keterangan yang diberikan buku ini mengenai hadis yang akan ditakhrij adalah mencakup:
a) para imam yang menyebutkan hadis ini dalam kitab-kitab mereka, yang mencakup 9 kitab induk hadis yaitu: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmudzi, Sunan Nasa’I, Sunan Ibnu Majah, Sunan Darimi, Muwatha’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad bin Hambal.
b) menjelaskan letak hadis dalam kitab tersebut secara lebih detail, sehingga lebih memudahkan dalam pencarian hadis.
e. Merujuk secara langsung dari kitab-kitab induk untuk memastikan keberadaan hadis tersebut dalam kitab yang bersangkutan.
f. Kemudian setelah mengetahui keberadaannya secara pasti, kita dapat memberikan keterangan yang jelas mengenai kitab yang meriwayatkan, nomer bab, juz, dan halamannya.
g. Jika tidak memungkinkan bagi kita untuk merujuk pada kitab-kitab hadis induk, maka bagi kita dapat mengemukakannya, misalnya: bahwa hadis ini menurut kitab al Mu’jam al Mufahras diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan seterusnya.
3. Dengan Cara Mengetahui Sahabat Yang Meriwayatkan, jika terdapat.
Metode ini mentakhrijkan hadis dengan melihat sanad hadis tersebut. Dalam hal ini yang menjadi pijiakannya adalah para perawi yang paling tinggi yaitu para sahabat Rasulullah. Metode ini memiliki keistimewaan dalam memberikan keterangan yang lengkap mengenai jalur sanad hadis yang kita ditakhrij secara keseluruhan. Sehingga memungkinkan kita untuk mengadakan penelitian ‘perbandingan sanad’ dari jalur yang berbeda-beda. Namun kelemahannnya, metode ini tidak dapat digunakan bagi seseorang yang tidak mengetahui perawi a’la (sahabat atau perawi pertama) dari hadis yang akan ditakhrijnya.dan kurang efisien karena pengurutan hadits dengan dasar perowinya itu sangat tidak berdekatan maknanya antara hadits yang satu dengan yang lainnya.
Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama shahabat yang meriwayatkan hadits, lalu kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadits :
a. Kitab-kitab Musnad
b. Kitab-kitab Mu’jam
c. Kitab-kitab Atraf
Kitab Musnad
Kitab musnad adalah karangan yang berpegang pada para sahabat sebagai sandaran, yaitu dengan mengumpulkan hadits-hadits pada masing-masing sahabat secara terbatas . Ciri-ciri kitab musnad ini adalah:
1. Tersusun dari perowi tertinggi yaitu sahabat atau tabiin jika hadits tersebut adalah mursal.
2. Nama sahabat disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah, yang terlebih dahulu masuk Islam, kabilah atau negara dan sebagainya.
3. Hadits pada setiap sahabat secara tidak beraturan, cuma sekedar disebutkan apa adanya, karena mereka menulisnya hanya untuk dihafal saja.
4. Hadits yang termuat didalamnya derajatnya tidak terbatas karena penulisnya tidak membatasi hadits yang sahih saja atau yang lainnya. Tapi terkumpul di dalamnya hadis shahih, hasan dan dloif.
5. Tidak dimaksudkan didalamnya membahas para perowi, oleh karena itu terkadaang dalam sanadnya terdapat banyak sahabat, terkadang pada kelompok sahabat tertentu.
Manfaat-manfaat kitab musnad adalah :
1. Banyak terkumpul didalam hadits-hadits yang meliputi banyak riwayat dan jalur-jalur periwayatan.
2. Jalan yang bagi yang mau menghafalkannya.
3. Cepat untuk mencari hadits yang diinginkan .
Contoh Kitab Musnad:
a. Musnad Imam Ahmad ( W 241 H ) f. Musnad Nuaim BinHamad.
b. Musnad Al-Humaidi ( W 219 H ) g. Musnad Al-Abasi.
c. Musnad Abu Daud At-Tayalisi ( W 2004 ) h. Musnad Abi Khaitsamah.
d. Musnad Al-Umawi ( W 212 H ) i. Musnad AbuYa'la(W307H)
e. Musnad Al-Asadi ( W 228 H ) j. Musnad Abdu Bin Humaid
a. Musnad Imam Ahmad ( W 241 H ) f. Musnad Nuaim BinHamad.
b. Musnad Al-Humaidi ( W 219 H ) g. Musnad Al-Abasi.
c. Musnad Abu Daud At-Tayalisi ( W 2004 ) h. Musnad Abi Khaitsamah.
d. Musnad Al-Umawi ( W 212 H ) i. Musnad AbuYa'la(W307H)
e. Musnad Al-Asadi ( W 228 H ) j. Musnad Abdu Bin Humaid
(W 249 H)
Kitab Mu’jam
Kitab mu'jam yaitu kitab yang didalamnya tersusun hadits-hadits dari musnad sahabat, para syaihk, negara ataupun yang lainnya.
Contoh kitab Mu’jam:
a. Al-Mu'jam Al-Kabir Oleh At-Tabrani ( W 320 H ) tersusun berdasar musnad sahabat, mencakup 60.000 hadis.
b. Al-Mu'jam Al-Ausath, yang tersusun berdasar pada nama-nama para syaikh dari pengarangnya. Ada kurang lebih1.000 orang dan 30,000 hadits.
c. Al-Mu'jam As-Saghir, menncakup dari apa yang disandarkan pada 1.000 syaikhnya.
d. Mu'jam sahabat, oleh Al-Hamdani ( W 398 H ).
e. Mu'jam sahabat, oleh Abu Ya'la Al-Mausuli ( W 307 H ).
Kitab Atraf
Kitab atraf adalah bagian kitab-kitab hadis yang hanya menyebutkan bagian (tarf) hadis yang hanya dapat menunjukkan keseluruhannya, kemudian menyebutkan keseluruhannya dan sanad-sanadnya, baik secara menyeluruh maupun hanya dinisbatkan pada kitab-kitab tertentu.[10] Pada umumnya, kitab ini disususn berdasarkan musnad-musnad sahabat sesuai dengan urutan huruf hijaiyah.
Misal dari kitab-kitab atraf yaitu :
a. Atraf Sahihain, oleh Ad-Dimsyiqi ( W 4001 H)
b. Atraf Sahihain, oleh Al-Washiti ( W 4001 H)
c. Al-Asyraf 'Ala Ma'rifat Asyraf, oleh Ibnu Asakir ( W 571 H )
d. Tuhfatul Asyraf, oleh Al Hafiz Abul Hajjaj bin Abdur Rahman Al-Mazi (w 742 H )
e. Ittihadz Mahrah Bi Atraf Al-Asyrah, oleh Ibnu Hajar ( W 852 H )
f. Atraf Masanid Al-Asyrah, oleh Al-Bushairi ( W 840 H )
g. Dakhoir Al-Mawarits, oleh An-Nablusi ( W 1143 H )
Manfaat Kitab Atraf adalah :
a. Mengetahui sanad hadits yang bermacam-macam yamg terkumpul dalam satu kitab, tetapi dapat dikumpulkan dalam suatu tempat, dan selanjutnya dapat mengetahui hadis ghorib, aziz, dan masyhurnya.
b. Mengetahui para rawi hadis, yaitu imam yang mengarang kitab-kitab hadis pokok.
c. Mengetahui jumlah hadits pada tiap sahabat yang termuat dalam kitab atraf tersebut.
Cara Mentakhrijkan Hadis Dengan Mengetahui Sahabat Yang Meriwayatkan:
Mengetahui secara pasti siapa perawi a’la (sahabat) dari hadis yang akan kita takhrij.
a. Jika sahabat hadis merupakan sahabat yang termasuk dalam kategori banyak meriwayatkan hadis Rasulullah, maka kita juga perlu pengetahui tabi’in dan atba’ut tabi’in.
b. Merujuk pada kitab-kitab takhrij yang menggunakan metode ini.
c. Setelah kita temukan takhrijnya, kita harus merujuk kembali pada kita-kitab induknya.
4. Dengan Cara Mengetahui Tema (maudlu’) atau Pokok Bahasan Hadisnya.
Metode ini hanya dapat digunakan oleh orang-orang yang menguasai pembahasan atau oleh orang yang mempunyai pengetahuan luas. Dan karena setiap orang belum tentu menguasai pembahasan setiap hadis, terutama terhadap hadis yang belum jelas pembahasannya.
Metode ini memiliki keistemewaan kemudahan dari sisi di mana seseorang tidak memerlukan kesahihan lafal hadis yang akan ditakhrijnya. Namun, dengan mengetahui tema hadis tersebut secara umum, insya Allah sudah cukup untuk mentakhrijnya. Cara ini tidak memerlukan pengetahuan mengenai perawi hadis. Selain itu, metode ini juga dapat mengembangkan pengetahuan kemampuan untuk mengetahui fiqhul hadis secara umum.
Namun kelemahannya, bahwa cara ini terkadang menyulitkan kita dalam menentukan tema hadis yang bersangkutan. Mengingat dalam sebuah hadis terkadang terdapat beberapa tema, atau terkadang tema yang kita pahami tentang suatu hadis itu berbeda dengan persepsi penulis kitab takhrij dengan metode ini, sehingga kita tidak dapat menemukan hadis tersebut.
Cara Mentakhrij Hadis Dengan Metode Tema Hadis
Takhrij dengan metode ini adalah dengan menentukan tema hadis yang terdapat dalam hadis yang ingiin kita takhrij. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
a. menentukan secara jelas tema yang akan ditakhrij.
b. Setelah itu kita merujuk pada kitab-kitab takhrij yang menggunakan metode ini. Diantaranya:
1) كنز العمّال في سنن الأقوال والأفعالyang dikarang oleh Imam Al muttaqi Al Hindi
2) مفتاح كنوز السنة yang dikarang oleh A.J. Wensick
3) نصب الراية لتخريج احاديث الهدايةyang dikarang oleh Imam Al Zaila’i
4) التخليص الحبير في تخريج احاديث الرفعي الكبير oleh Imam Ibnu Hajar Al Atsqalani
5) الترغيب والترهيب من الحديث الشريفyang dikarang oleh Imam Al Mundziri
c. Dalam merujuk hadis tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Sebagai contoh kitab kanzul Ummal:
1) kitab ini menyusun hadis-hadis berdasarkan maudlu’ (tema-tema) yang dikandung oleh hadis-hadis tersebut.
2) Beliau (Imam al Hindi) mengurutkan tema-tema yang terkandung dalam hadis itu berdasarkan dengan urutan huruf hijaiyah.
3) Beliau memberikan keterangan pada setiap hadis yang dicantukannya. Yaitu menyebutkan para imam yang menyebutkan hadis tersebut dalam kitab-kitab mereka, menyebutkan perawi a’la-nya, dan memberikan komentar mengenai hadis yang bersangkutan, naik itu shahih, hasan ataupun dlaif.
4) Contoh dalam mentakhrij hadis dengan menggunakan kitab ini:
Misalnya kita mentakhrij hadis,
لا حسد إلا في اثنين , رجل اتاه الله القرأن فهو يقوم به اناء الليل واناء النهار , ورجل اتاء الله مالا فهو ينفقه اناء الليل واناء النهار
Hadis ini membicarakan mengenai keutamaan alQur’an atau keutamaan mengamalkan alQur’an, dan juga mengenai keutamaan infaq. Kita mencarinya dalam daftar isis dan disana akan kita temukan bab mengenai keutamaan alQuran yang terdapat dalam kita al Adzkar yang tercantum pada bab ke 7 باب تلاوة القرأن وفضائله Lalu kita runtut untuk mencarinya dan kita mendapatkan hadis tersebut dengan keterangan {حم ق ت ه عن ابن عمر}
Maksudnya adalah bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, juga oleh Imam Bukhari dan Muslim, kemudian oleh Imam Turmudzi, kemudian oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar ra.
d. Setelah itu kita harus merujuk pada kitab-kitab tadi untuk memastikan keberadaan hadis secara terperinci.
e. Kemudian jika hadis itu berkaitan dengan targhib wa tarhib (motivasi amalan baik dan ancaman terhadap amalan negatif), maka kita dapat menggunakan kitab tersebut karangan Imam al Mundziri. Adapun cara mentakhrijnya sama dengan kitab Kanzul Ummal tadi.
5. Dengan Cara Meneliti Sanad Dan Matan Hadis Tersebut.
Metode ini adalah mempelajari sedalam-dalamnya tentang keadaan matan dan sanad hadis, kemudian mencari sumbernya dalam kitab-kitab yang khusus membahas keadaan matan dan sanad tersebut.
Cara Mentakhrij Hadis Dengan Menggunakan Metode ini adalah:
Terlebih dahulu kita harus mengklasifikasikan hadis yang akan kita takhrij. Terdapat klasifikasi yang dapat kita identifikasi dalam metode ini yang akan dijelaskan, yaitu:
a. Penelitian Sanad
1) jika dalam matan hadis terdapat tanda-tanda kepalsuan, seperti lemahnya lafal, rusaknya makna atau bertentangan dengan teks alQuran, maka cara yang tepat untuk mengetahuinya adalah melihat kitab Al Maudlu’at (kitab-kitab tentang hadis maudlu’). Dalam kitab ini, dapat diketahui hadis-hadis yang mempunyai sifat-sifat tersebut, takhrijnya, bahasan, dan penjelasan tentang orang yang memalsukannya.
2) jika matan itu termasukhadis qudsi, maka sumber yang tepat untuk mencarinya adalah kitab-kitab yang khusus menghimpun hadis qudsi, karena di dalamnya disebutkan hadis dan perawinya secara lengkap. Di antara kitab-kitab tentang hadis qudsi adalah:
a) Misykatul Anwar Fima Ruwiya ‘Anillahi Subhanahu Wata’ala Minal Akhbar, karya Muhyiddin Muhammad bin Ali bin Arabi Al Khatimi al Andalusi (w. 638 H) yang menghimpun 101 hadis lengkap dengan sanadnya.
b) Al Ithafus Saniyah Bil Ahadisil Qudsiyah, karya Syekh Abdur Rauf al Munawi (w.1031 H) yang berisi 272 hadis tanpa dengan sanadnya, namun disusun berdasarkan huruf hijaiyah.
b. Penelitian Sanad
Jika dalam suatu hadis terdapat kesamaran, seperti:
1) Seorang bapak meriwayatkan hadis kepada anaknya, maka sumber yang tepat untuk mentakhrijkannya adalah kitab-kitab khusus tentang hadis riwayat bapak dari anaknya. Seperti kitab Riwayatul Abaa’ ‘Anil ‘Abna’, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali ak Khatib al Baghdadi (w.463 H).[11]
2) Sanadnya musalsal. Dapat mengguanakan kitab Al Musalsalul Kubra, karya Assuyuthi dan kitab Manahilus Salsalah Fil Ahadisil Musalsalah, karya Muhammad bin Abdul Baqi al Ayyubi.
3) Sanadnya mursal. Dapat menggunakan kitab Al Marasil, karya Abu Dawud As Sijistani yang disusun berdasarkan bab-bab fikih.
4) Perawinya lemah. Dapat menggunakan kitab tentang perawi dhaif dan kualitasnya masih dibicarakan, yaitu kitab Nizanul I’tidal, karya Az Zahabi.
c. Penelitian Matan Dan Sanad
Terdapat beberapa sifat dan keadaan adanya illat dan kesamaran baik dalam matan atau sanad hadis dapat dicari dalam kitab-kitab yang khusus membahas illat dan kessamaran hadis, yaitu:
1) ‘Ilalul Hadis, karya Ibnu Abu Hatim Ar Razi yang disusun berdasarkan bab-bab fikih.
2) Al Asma’ul Mubhamah Fil Anba’il Muhkamah, karya Al Khatib Al Baghdadi.
3) Al Mustafad Min Mubhamati Matni Wal Isnad, karya abu Zur’ah Ahmad bin Abdur Rahim Al ‘Iraqi.
F. Langkah-langkah Praaktis Penelitian Hadis
Langkah-langkah penelitian hadis meliputi penelitian sanad dan matan.
1. Penelitian Sanad Dan Rawi Hadis
a. Meneliti sanad dan rawi adalah takhrij.
b. I’tibar, yaitu menyertakan sanad-sanad lain untuk suatu hadis tertentu, dan hadis tersebut pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang rawi saja. Dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui adanya rawi yang lain atau bagian sanad dari sanad tersebut.[12]
c. Meneliti nama para perawi yang tercantum dalam skema sanad (penelitian asma ar ruwat). Langkah ini dilakukan dengan mencari nama lengkap yang mencakup nisbat, kunyah, dan laqab setiap perawi dalam kitab-kitab Rija al Hadis,seperti Tahdzib at Tahdzib.
d. Meneliti Tarikh ar Ruwat, yaitu meneliti al masyayikh wa al talamidz (guru dan murid), dan al Mawalid wa al Wafayat (tahun kelahiran dan kematian). Dengan langkah ini dapat diketahui bersmbung tidaknya sanad.
e. Meneliti al Jarh wa Ta’dil untuk mengetahui karakteristik rawi yang bersangkutan, baik dari segi aspek moral dan aspek intelektualnya (keadilan dan kedlabitan).
2. Penelitian Matan
Sebagai langkah terakhir adlah penelitian terhadap matan hadis, yaitu menganalisis matan untuk mengetahui kemungkinan adanya ‘illat atau syududz padanya. Langkah ini dapat dikatakan sebagai langkah yang paling berat dalam penelitian suatu hadis, naik teknispelaksanaannya maupun aspek tanggung jawab.
Langkah ini memerlukan wawasan yang luas dan mendalam. Untuk itu, seorang peneliti dituntut untuk menguasai bahasa Arab dengan baik, menguasai kaidah-kaidah yang bersangkuan dengan tema matan hadis, memahami isi al Qur’an, baik konsektual, memahami prinsip-prinsip ajaran Islam, mengetahuimetode istinbath, dan sebagainya.
Dengan memerhatikan hal-hal tersebut, maka insya Allah penarikan kesimpulan akan terhindar dari kekeliruan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar